PONDOK AL MISRI

Biografi Pendiri Pondok Pesantren Salafiyah Al-Misri




A. Silsilah

          Kyai Misri bin Hasan Mimbar bin Jasuro bin Kerto Sentono, merupakan seorang ulama yang terlahir dari Abah yang bernama Hasan Mimbar bin Kerto Sentono  dan Ibu bernama Saripah. Kyai Misri lahir di sebuah desa kecil daerah Trenggalek lebih tepatnya di Desa Baruharjo, Kecamatan Durenan, Kabupaten Trenggalek. Yaitu sebuah pedesaan yang masyarakatnya bergerak di bidang industri genteng. Dari pernikahan Abah dan Ibu Kyai Misri telah dikarunia 8 (delapan) orang anak, di antaranya: 4 laki-laki dan 4 perempuan, salah satunya Kyai Misri.

Meskipun demikian, ternyata Kyai Misri memiliki nasab Ahlul Bait. Hal itu bisa diketahui dengan secarik kertas yang memaparkan bahwa Kyai Misri masih mempunyai darah sambungan hingga kepada Rosulullah Muhammad S.A.W.

Silsilah yang berhasil ditemukan bahwa Kyai Misri bernasab langsung kepada Rosulullah sebagai berikut:

  1. KYAI MISRI
  2. BIN HASAN MIMBAR
  3. BIN JASURO
  4. BIN KERTO SENTONO
  5. BIN SINGO DOSO
  6. BIN K.R. AMINTORO (WINTONO)
  7. BIN DONOPURO
  8. BIN SINGONOYO
  9. BIN KIAI RADEN
  10. BIN RADEN WONGSO
  11. BIN SUNAN BAYAT/SUNAN TEMBAYAT/SUNAN PANDANARAN II
  12. BIN MAULANA ISLAM/KI AGENG PANDANARAN/SUNAN PANDANARAN/ SAYYID ABDUL QODIR/ADIPATI SEMARANG
  13. BIN MAULANA ISHAQ
  14. BIN IBRAHIM ZAINUDIN AL-AKBAR
  15. BIN JAMALUDDIN AL-HUSAIN
  16. BIN AHMAD JAMALUDDIN
  17. BIN ABDILLAH
  18. BIN ABDUL MALIK AZMATKHAN
  19. BIN ALWI AMMIL FAQIH
  20. BIN MUHAMMAD SHAHIB MIRBATH
  21. BIN ALI QALI’ QASAM
  22. BIN ALWI
  23. BIN MUHAMMAD
  24. BIN ALWI
  25. BIN UBAIDILLAH
  26. BIN AHMAD AL-MUHAJIR BIN ISA
  27. BIN MUHAMMAD
  28. BIN ALI AL-URAIDHI
  29. BIN JA’FAR SHADIQ
  30. BIN MUHAMMAD AL-BAQIR
  31. BIN ALI ZAINAL ABIDIN
  32. BIN AL-HUSAIN
  33. BIN SAYYIDAH FATIMAH AZ-ZAHRO
  34. BIN ROSULULLAH NABI MUHAMMAD S.A.W

 

Selain nasabnya yang langsung bersambung kepada Rosulullah, ulama yang lahir sekitar tahun 1899 itu merupakan seorang ulama yang sangat zuhud. Ke-zuhudan tersebut dibuktikan dengan perjalanan beliau untuk menimba ilmu agama dari desa ke desa. Tidak hanya itu, Kyai Misri  juga rela berjalan sangat jauh demi menuntut ilmu agama, akhirnya perjalanan beliau terhenti di sebuah pondok pesantren di Kabupaten Jember lebih tepatnya Pondok pesantren As-Sunniyah Kencong Jember yang diasuh oleh Kyai  Jauhari Zawawi.

 

B. Riwayat Pendidikan dan Perjalanan Mbah Kyai Misri dalam Mencari Ilmu

Sebelum Kyai Misri sampai di Kencong Jember, beliau sempat menjalani pendidikan formal Sekolah Dasar (SD). Hanya saja pendidikan itu tidak beliau lanjutkan hingga selesai, beliau keluar dari pendidikan SD dan lebih memilih untuk melanjutkan pendidikan dan mendalami ilmu agama di berbagai pesantren. Adapun pesantren yang sempat disinggahi oleh Kyai Misri demi memperdalam ilmu dan pemahaman agamanya, di antara pesantran tersebut adalah :

  1. Pondok Pesantren Kyai Mahfud, Mayangan-Tulungagung,
  2. Pondok Pesantren Kyai Maftuhin, Tremas-Pacitan,
  3. Pondok Pesantran Kyai Jazuli, Al-falah, Ploso-Kediri,
  4. Pondok Pesantren Kyai Jauhari Zawawi, As-Sunniyah-Kencong,
  5. Pondok Pesantren Salafiyah Kyai Khotib, Curah Kates, Ajung, Jember.

Pindahnya beliau dari Tremas Pacitan menuju Kencong Jember, beliau lakukan dengan berjalan kaki. Perjalanan yang dilakukan tidaklah mudah, selama dalam perjalanan beliau sering menjumpai pasukan tentara Belanda, karena pada masa itu masih gencar-gencarnya penjajahan di Indonesia oleh pasukan Belanda. Rintangan demi rintangan beliau lalui, mulai dari penindasan dan penganiayaan yang dilakukan oleh pasukan belanda. Dengan modal doa kepada Allah SWT, dan tekad yang sangat besar, banyak cara yang dilakukan beliau, demi menghindari kejahatan yang berkemungkinan akan dilakukan pasukan Belanda.

Salah satu cara yang beliau lakukan yakni, selalu membawa kitab yang kemudian beliau tata dengan sangat rapi di tempat keramaian selayaknya penjual kitab. Hari demi hari beliau lakukan hal yang sama, hingga akhirnya sampai Pondok pesantren As-Sunniyah Kencong. Setelah beliau belajar dan memperdalam ilmu agama di pesantren asuhan Kyai Jauhari Zawawi tersebut, beliau melanjutkan perjalanannya menuju Pondok Pesantren Salafiyah Curah Kates yang berada di daerah Ajung Jember yang pada masa itu masih dalam asuhan Kyai Khotib. Melalui Pondok Curah Kates ini Kyai Misri mendapat banyak hal, mulai dari penanaman karakter, mengajar ngaji, menyambung hidup, hingga menikah.

Pada sebuah cerita dari salah satu santri beliau menceritakan, bahwa saat belajar ilmu agama di Pondok Salafiyah Curah kates, Kyai Misri juga untuk bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup selama di pesantren atau dalam bahasa santri disebut dengan KASAB. Perihal lumrah santri masa 90-an mondok di pesantren sambil membantu masyarakat sekitar atau para tetangga pesantren guna mencukupi kebutuhan hidup. Biasanya kebiasaan itu dilakukan oleh para santri saat ada di luar waktu mengaji. Kyai Misri juga sering di perbincangkan oleh para kyai-kyai yang ada di Pondok Curah Kates, hal itu di bicarakan karena Kyai Misri merupakan santri yang sangat santun, tekun, telaten dan sangat penyabar. Tidak seperti santri lain yang terkadang masih suka mengeluh karena lelah akan kegiatan yang ada di pondok pesantren. Tidak hanya itu, kebutuhan selama belajar ilmu agama juga terpenuhi dengan baik, hal itu karena Kyai Misri tidak hanya berpangku tangan dari kiriman yang dilakukan oleh orang tuanya. Namun beliau juga sering ikut bekerja di sawah, hingga suatu ketika ada musim panen tembakau, beliau pernah ikut memanen bersama juragannya hingga daerah Klompangan Ajung.

 

C. KEISTIMEWAAN KYAI MISRI

          Berkat ketekunan dan juga kesabaran yang selama ini Kyai Misri lakukan selama belajar di Pesantren Curah Kates, rasa tawadhu’nya kepada para Kyai dan guru, serta sifat zuhudnya yang beliau miliki selama belajar. Tidak sedikit kisah yang berkembang di kalangan santri, bahwa beliau memiliki keistimewaan yang luar biasa. Salah satu santri menceritakan, bahwa beliau adalah seorang yang selalu menggutamakan kalangan menengah ke bawah dan orang yang memang membutuhkan bantuan orang lain walau hanya untuk sekedar hidup. Jika beliau mendapatkan undangan dari seseorang atau tetangga, beliau tidak memandang latar belakang dari orang yang mengundang. Bagi beliau keadaan berada atau orang tidak punya sama saja di mata Tuhan, oleh karena itu sangat enggan bagi beliau yang merasa manusia biasa untuk membedakan status sosial siapapun, walaupun beliau merupakan garis keturunan dari Ahlul Bait, ketika diberi undangan beliau selalu datang paling awal bahkan datang sebelum acara di mulai. Karena bagi beliau datang kepada seorang yang telah memberi kehormatan dengan mengundang meruapakan sebuah hal yang harus di utamakan jika tidak memiliki halangan (udzur).

Diceritakan juga, suatu ketika Kyai Misri mendapatkan undangan walimatul ‘ursy santri yang berada di daerah Semboro. Saat menghadiri undangan beliau tidak meminta santrinya untuk membonceng tetapi beliau berangkat bersama santrinya dengan menaiki sepeda ontel secara bersama menuju alamat santrinya yang sedang menikah itu.  Sepeda ontel itu juga beliau gunakan untuk berkeliling desa guna membantunya dalam rangka berdakwah menyebarkan ajaran agama Islam kepada masyarakat luas. Sungguh ulama yang sangat zuhud, beliau tidak memikirkan bagaimana penampilannya, bagaimana kendaraannya. Akan tetapi beliau lebih mengutamakan bagaimana caranya bisa tampil dan terlihat sederhana di mata masyarakat, karena Kyai Misri selalu mengngat tujuan beliau susah payah mencari ilmu agama, bukan untuk ketenaran dan ajang pamer ilmu agama. Akan tetapi, beliau berniat menyiarkan ajaran agama Islam kepada orang banyak dengan cara yang sangat indah dan begitu sejuk ketika berdakwah di mana beliau menginjakkan kakinya.

Selain melakukan dakwah kesana kemari, Kyai Misri juga ikut mengajar di pondok pesantren Salafiyah Curah Kates. Beliau bisa ikut mengajar karena ketekunannya dalam mengaji kitab, beliau juga sering mengulang apa yang telah diajarkan oleh para Kyai pada masa itu, hal itulah yang menjadikan beliau lebih unggul dari para santri yang lain bahkan teman santri satu angatan. Tidak ada seorangpun yang meragukan Kyai Misri saat mengajar para santri, selain itu beliau juga terkenal sebagai pribadi yang sangat disiplin dalam mengajar santri-santrinya. Beliau juga sangat istiqomah dalam mengajar, tiada hari tanpa mengajar.  Mungkin beliau akan izin tidak mengajar jika memang ada udzur, baik mendatangi undangan seseorang kalau tidak ketika beliau sedang sakit.

 

D. Menikah dan Mendirikan Pesantren

          Segala pelajaran telah Kyai Misri lalui denga ketekunan dan kesabaran, sampai pada suatu waktu, beliau diperintahkan oleh salah satu Kyai untuk pergi ke Desa Curahmalang untuk mengembangkan ilmu dan pelajaran yang telah diperoleh selama belajar ilmu agama di Pondok Pesantren Salafiyah Curah Kates. Beliau berjalan menyusuri setiap desa, ketika adzan berkumandang beliu tidak segan untuk singgah dan ikut sholat berjama’ah di desa yang mungkin beliau tidak pernah ketahui sebelumnya. Pada suatu ketika beliau sampai di desa yang menjadi tujuannya sesuai dengan dawuh gurunya untuk mencari desa yang bernama Curahmalang.

Kegigihan dan kesabarannya berujung manis dan menuai hasil. Setelah beberapa lama beliau tinggal di Desa Curahmalang, beliau seringkali disuruh dan dipersilahkan untuk mengajar mengaji dan menjadi imam sholat jamaah. Suatu ketika ada seseorang yang mulai menyukai sosok Kyai Misri dan orang tersebut ingin menikahkan putrinya dengan beliau. Ini merupakan awal pertemuan Kyai Misri dengan Nyai Muzayyanah. Selama masa pernikahan beliau juga berusaha keras dan selalu berdoa kepada Allah untuk membangun sebuah pondok pesantren, guna mempermudah dakwahnya sekaligus perintah gurunya untuk mengembangkna ajaran Islam di Desa Curahmalang dan sekitarnya.

Beberapa tahun kemudian, berkat tekad dan keteguhan hatinya dalam menyebarkan syiar Islam, dan juga rasa kerendahan hatinya sehingga banyak masyarakat yang turut senang dengan datangnya Kyai Misri di Desa Curahmalang, beliau memohon izin kepada masyarakat untuk bisa membangun sebuah Pondok pesantren. Banyak rintangan dan juga hambatan yang dilalui oleh Kyai Misri demi mewujudkan keinginannya membangun pondok pesantren. Karena keteguhan hatinya dan penuh kesabaran yang beliau lakukan akhirnya membuahkan hasil yang luar biasa, beliau berhasil membangun sebuah Pondok Pesantren dengan bantuan seluruh lembaga masyarakat, setelah Pondok Pesantren itu berdiri tegak beliau beri nama Pondok Pesantren Salafiyah Curahmalang.

Semua pembelajaran Kyai Misri lakukan sendiri, tidak jarang beliau juga dibantu oleh beberapa santri. Beberapa kajian kitab dilakukan setelah berjama’ah sholat. Makhtubah, ada 14 kitab yang selalu biliau ajarkan kepada para santrinya. Di antaranya Fathul Qorib, Minhajul Qowwim, Fathul Mu’in, Fathul Wahab, Ihya’ Ulumuddin, Shohih Bukhori, Shohih Muslim, Bidayah, Iqna’, Ibnu ‘Aqil, Mambaul Iksan, dan lain-lain, semua kitab yang diajarkan kepada para santrinya sama persis seperti yang beliau terima saat mengemban Ilmu di pondok Curah Kates. Ketika salah satu kitab sudah khatam pembahasannya beliau ulangi dari awal sampai para santri benar-benar paham dan begitu seterusnya.

Bahkan saat beliau mulai mengantuk saat mengajar, berjalan sambil berdiri dan sedikit menepuk kedua pahanya, menjadi salah satu cara untuk menghilangkan rasa kantuknya saat mengajar para santri. Ketika dirasa kantuknya mulai hilang, beliau kembali duduk dan melanjutkan pengajian serta pembahasan bersama para santri hingga selesai.

Seusai Sholat Subuh berjama’ah, Kyai Misri melanjutkan dengan mengajar kitab Ihya’ Ulumuddin karangan dari Imam Al-Ghozali. Setelah itu, beliau melanjutkan kajiannya dengan kajain kitab Tafsir Jalalain karya dari Imam As-suyyuti dan Al-Mahali. Kajian tersebut beliau lakukan dengan istiqomah setiap hari, setelah kajian itu selesai belau memberi waktu kepada santri untuk beristirahat sejenak. Pada jam 7 pagi beliau kembali melanjutkan kajian dengan para santri untuk membahas kitab Taqrib dan Minhajul Qowwim.

Setelah semua pembahasan selesai, Kyai Misri kembali memberi waktu kepada santri untuk beristirahat. Dilanjut pada jam 9 pagi beliau kembali memulai pembelajaran kitab kembali dengan kitab yang berbeda hingga waktu dhuhur kurang 1 jam. Selepas sholat dhuhur beliau melanjutkan dengan pembahasan kitab Shohih Bukhori, selesai kajian para santri melanjutkan kegiatan untuk sekolah diniyah. Sekolah diniyah pada waktu itu terdiri dari kelas 1 hingga kelas 6. Demikian ba’da Maghrib beliau kembali melakukan kajian dengan kitab yang berbeda. Kebiasaan itu beliau lakukan sepanjang hidupnya dengan penuh kesabaran dan ketekunan demi menjadikan santri yang sesuai dengan apa yang telah menjadi harapan dari Kyai Misri.

Tahun berganti tahun pernikahannya berjalan begitu indah dengan Nyai Muzayyanah. Sembari mengajar di pondok yang berhasil beliau dirikan, yakni Pondok Pesantren Salafiyah Curahmalang, Kyai Misri dan Nyai Muzayyanah dikaruniai putra dan putri, di antaranya ada 7 (tujuh) putra dan putri, sebagai berikut:

  1. Nyai Hj. Dewi Hajar yang menikah dengan KH. Ahmad Nasiruddin dari Semboro, Tanggul. Kini menetap di Desa Curahmalang yang sekaligus sebagai pengasuh Pondok Pesantren yang didirikan Kyai Misri.
  2. Nyai Hj. Dewi Saroh yang menikah dengan KH. Manshur Sholeh. Kini menetap di Kepel, Wuluhan Jember, dan mendirikan Pondok Pesantren Al-Falah Putri.
  3. Kyai Mahali yang menikah dengan Nyai Khodijah binti H. Zainuddin. Menetap di Desa Curahmalang dan menjadi pengasuh Pondok Pesantren Al-Misri Putri.
  4. KH Agus Munif yang menikah dengan Nyai Hj. Khusnul Khotimah, kini menetap di Sukorejo, Balung Jember.
  5. Nyai Hj. Musa’adah yang menikah dengan KH. Ihsan Iskandar, menetap di Kertonegoro, Jenggawah, Jember. Sekaligus pendiri Pondok Pesantren Darul Hikam.
  6. KH Maftuchin yang menikah dengan Hj. Siti Aminah, seorang yang pernah menjadi anggota DPRD Banyuwangi. Sekarang menetap di Palembang Sumatra Selatan, dan mengembangkan Islam di sana.
  7. Kyai Abdul Fatah yang menikah dengan Nyai Nurul Badriyah, Beliau menetap dan menjadi Pengasuh Pondok pesantren Putra.

 

E. Wafatnya Kyai Misri

            Semua perjuangan dan perjalanan Kyai Misri sangat melekat pada semua santri-santri beliau. Beliau merupakan seorang ulama yang sangat penyabar dan mudah sekali beradaptasi dengan semua orang (srawung) tanpa melihat latar belakang satu dengan yang lain. Sampai suatu ketika beliau jatuh sakit, itu adalah peristiwa yang sangat menyedihkan para santri-santri beliau. Pasalnya bertepatan di hari rabu jam 03.00 tahun 1970 M, beliau wafat karena penyakit yang dideritanya. Kejadian itu membuat para santri menjadi sangat sedih karena ditinggal oleh Sang Kyai yang benar-benar telah berjasa dan sangat sabar memberi ilmu pada santri, Kyai Misri wafat pada umur 71 tahun.

Karena jasanya yang begitu besar terhadap santri bahkan agama, santri beliau yang sekaligus menjadi menantu KH. Ahmad Nasiruddin mengubah nama pesantren yang semula bernama Pondok Pesantren Salafiyah Curahmalang, berganti dengan nama Pondok Pesantren Al-Misri Curahmalang hingga saat ini. Nama tersebut digunakan untuk mengenang jasa-jasa dan benih perjuangan beliau beliau sebagai perintis sekaligus pendiri pondok pesantren ini.

Beliau dimakamkan tepat sebelah barat dari Pesantren Al-Misri Putra. Selain beliau seorang yang sangat sabar, beliau juga seorang Kyai yang suka mengamalkan hidup sederhana, tidak suka menampakkan bahwa beliau seorang kyai. Beliau juga selalu istiqomah dalam menjalankan amalan-amalan, serta suka memperhatikan orang yang tidak punya serta mempunyai keikhlasan yang sangat kuat, itulah alasan beliau hingga bisa mendirikan Pondok Pesantren Al-Misri yang hingga kini bisa kita ambil barokahnya bersama.

 

Wallahu’alam Bissowaf.