Keg. MA Event dan Lomba

Harga Diri Elang jawa: Antara Mitos dan Realita

Oleh: Eka Puspita Wardani

 

Di antara pepohonan yang menjulang tinggi dan suara alam yang bersatu, saya merasa seperti bagian dari dunia yang lebih besar. Kekaguman tumbuh dalam kepala saya, mengingatkan bahwa tempat ini bukan hanya sekadar hutan, tetapi sebuah warisan hidup yang perlu dijaga agar keindahan ini tak lenyap ditelan zaman.

Taman Nasional Meru Betiri, dengan segala populasinya, seakan memanggil jiwa untuk berhenti sejenak dan merenungi keagungan kawasan pelestarian alam yang teletak di Kabupaten Jember dan Banyuwangi itu.

Perjalanan menuju Meru Betiri, yang semula terasa seperti tantangan besar, kini mulai memberi sensasi tersendiri. Jarak yang jauh, medan yang terjal, dan cuaca yang terkadang berubah-ubah, semuanya melatih ketangguhan fisik. Bukan hanya soal fisik, melainkan rasa penasaran mengenai salah satu satwa yang dianggap sebagai ikon kebanggaan nusantara, burung Garuda!

Mengapa satwa liar yang tadinya itu dihormati dan dilindungi dianggap sebagai kakek, dianggap sebagai embah, itu jadi objek untuk dimiliki dan dieksploit?

Kalimat tersebut kian memenuhi kepala saya sejak Reza Maulana, seorang peneiliti sekaligus aktivis lingkungan mengemuka di tengah diskusi mengenai nasib satwa dan puspa di Indonesia pada kegiatan Forum Bumi yang diselenggrakan Yayasan KEHATI dan National Geographic Indonesia. Hal itu pula yang membawa saya dan beberapa teman MAPALA untuk sekadar mengunjungi dan menikmati potensi kawasan yang sangat dilindungi di Taman Nasional Meru betiri.

Kami menghabiskan malam di penginapan, berharap dapat melihat penyu yang akan melahirkan generasi barunya. Di Pantai Sukamade, malam menjadi saksi sebuah keajaiban. Penyu-penyu datang dari laut, menyeret tubuh mereka yang besar ke atas pasir. Dengan penuh kesabaran, mereka menggali lubang untuk menitipkan puluhan telur. Setiap butir telur yang mereka tinggalkan adalah harapan, sebuah cerita tentang keberlanjutan dan kehidupan yang berputar.

Ketika pagi tiba, cahaya matahari menelusup di sela-sela pohon. Saya yang kegirangan segera menanyakan keberadaan elang jawa kepada salah satu petugas yang memandu kami sejak malam tadi. Berharap kami juga memiliki keberuntungan untuk menikmati keindahannya.

Beliau menekuk kakinya, kami bersimpuh membentuk lingkaran seakan siap menerima kisah ajaib elang jawa yang mulai sesak memenuhi rasa ingin tahu kami. Saat beliau mendeskripsikan elang jawa, berikut poin yang kami tangkap.

Sebagai spesies yang hanya ditemukan di Pulau Jawa, elang jawa menghadapi tekanan yang luar biasa akibat perubahan lingkungan dan ulah manusia. Habitatnya yang berupa hutan tropis terus menyusut akibat alih fungsi lahan untuk permukiman, pertanian, dan industri. Data menunjukkan bahwa luas hutan primer di Jawa kini kurang dari 10% dari total luas pulau, menyisakan sedikit ruang bagi Elang jawa untuk bertahan hidup.

Tidak hanya itu, perburuan liar dan perdagangan satwa ilegal semakin memperparah situasi. Meski telah dilindungi secara hukum, elang jawa sering menjadi target para pemburu karena keindahan dan statusnya yang dianggap eksotis. Ironisnya, burung yang menjadi lambang Garuda Pancasila justru diperdagangkan secara ilegal di negeri sendiri. Fakta ini mengejutkan kami, khususnya anggota MAPALA yang notabene adalah para pecinta alam yang seakan-akan tidak bisa berbuat apa-apa.

Keberadaan elang jawa lekat dengan mitos dan legenda masyarakat setempat. Dalam beberapa cerita, burung ini dianggap sebagai penjaga hutan yang membawa keberuntungan. Sayangnya, mitos tersebut sering disalahartikan dan justru mendorong praktik penangkapan liar dengan tujuan mendapat keberuntungan atau mendapatkan manfaat magis.

Padahal, kehilangan elang jawa tidak hanya membawa kerugian bagi masyarakat lokal, tetapi juga berdampak besar pada ekosistem hutan. Sebagai predator puncak, burung ini memainkan peran penting dalam menjaga keseimbangan populasi mangsa.

Selama penjelasan beliau, saya membayangkan seekor Elang jawa melayang megah di atas hutan, simbol kehidupan yang agung sekaligus penjaga harmoni ekosistem. Burung yang dipandang sakral, dijaga karena dipercaya membawa berkah dan melindungi keseimbangan alam.

Namun, modernisasi mengubah segalanya. Ketika nilai-nilai tradisional digantikan oleh pragmatisme ekonomi, penghormatan yang dulu diberikan pada satwa liar mulai memudar. Dari sosok penjaga yang dihormati, mereka berubah menjadi objek eksploitasi. Perburuan meningkat, perdagangan ilegal merajalela, dan habitat mereka dihancurkan untuk kepentingan manusia.

Saya menjadi teringat sebuah ayat Al-Qur’an, Allah SWT telah memperingatkan manusia tentang bahaya kerusakan yang mereka perbuat. Dalam Surat Ar-Rum ayat 41, Allah berfirman:

Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia; supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).

Kisah ini adalah cerminan dari perubahan hubungan manusia dengan alam. Saat kepercayaan pada mitos berangsur surut, nilai-nilai konsumtif mengambil alih. Ironisnya lagi, keyakinan yang dulu melindungi satwa liar kini digunakan sebagai pembenaran untuk menangkap mereka. Entah untuk dipelihara, diperjualbelikan, atau sekadar dipamerkan.

Kami sangat bersyukur, seluruh aparat di Taman Nasional Meru Betiri berkomitmen untuk menyelamatkan elang jawa serta satwa lain dari kepunahan. Pemerintah menetapkan burung ini sebagai satwa yang dilindungi melalui UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistemnya serta PP 7 & 8 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa serta mengembangkan program konservasi. Program-program di kawasan ini strategis dan komprehensif, yang mencakup pemantauan populasi, anjangsana dan penyuluhan, rehabilitasi habitat, serta pelepasliaran burung yang telah diselamatkan dari perdagangan ilegal.

Selain itu, lembaga swadaya masyarakat dan komunitas lokal semakin gencar mengedukasi masyarakat tentang pentingnya menjaga habitat elang jawa. Hal ini dilakukan sebagai tindakan antisipatif mengenai tindakan pidana kehuatan di kawasan Taman Nasional Meru Betiri.

Kami juga berinisiatif untuk melakukan kampanye konservasi yang tidak hanya melibatkan warga lokal, tetapi juga menggandeng mahasiswa yang aktif di elemen seni dan budaya untuk menarik perhatian masyarakat, seperti pementasan wayang, festival lingkungan, atau pameran fotografi alam. Hal ini bertujuan untuk mengubah paradigma masyarakat dan generasi muda agar lebih menghargai keberadaan elang jawa sebagai bagian dari warisan alam Indonesia.

Tidak kalah penting, penelitian ilmiah tentang perilaku dan ekologi elang jawa terus dilakukan untuk memberikan data yang dapat mendukung upaya konservasi. Kolaborasi antara pemerintah, akademisi, dan organisasi lingkungan diperlukan untuk memastikan bahwa kebijakan yang diterapkan berbasis pada bukti ilmiah dan kebutuhan ekosistem.

Namun, kesadaran dan partisipasi aktif masyarakat tetap menjadi kunci utama keberhasilan konservasi ini. Tanpa dukungan dari masyarakat luas, segala upaya yang dilakukan akan sulit mencapai dampak yang signifikan. Oleh karena itu, penting untuk membangun rasa tanggung jawab bersama demi melestarikan elang jawa dan ekosistemnya. Hal ini menjadi kewajiban, khususnya bagi generasi muda untuk terus menggalakkan kelestarian alam.

Setelah melalui diskusi panjang, beliau mengajak kami untuk melepas penyu-penyu kecil di laut lepas. Kami selalu merasa bersyukur, meski tak bertemu elang jawa secara langsung, kami tetap dipertemukan dengan aset alam berupa penyu-penyu kecil.

Dengan tempurung mungilnya yang berkilauan terkena cahaya matahari hari itu, mereka bergerak perlahan namun pasti. Langkah-langkah mereka tampak rapuh, namun di balik gerakan itu tersimpan tekad dan keberanian. Setiap gerakan menuju lautan adalah perjuangan, setiap desiran air yang menyentuh mereka adalah awal dari sebuah perjalanan tanpa peta, sebuah perjalanan menuju kehidupan.

Setiap dari kami yang berkumpul saat itu, saya yakin ada banyak rapalan doa yang tersembunyi di balik senyum yang lepas. Ada harapan besar bahwa mereka akan bertahan, tumbuh besar, dan suatu saat kembali ke pantai ini untuk melanjutkan siklus kehidupan.

Ketika penyu terakhir menghilang di balik gelombang, pantai seolah menarik napas panjang. Keheningan sesaat terasa sakral, diwarnai oleh suara ombak yang menyanyikan lagu perpisahan. Ini bukan sekadar pelepasan, ini adalah janji yang ditanamkan manusia kepada alam, bahwa kami masih peduli, masih ingin menjaga harmoni kehidupan.

Kami pun akhirnya berpamitan, tapi pantai Meru Betiri menyimpan sebuah cerita abadi. Tentang keberanian kecil yang tak kenal lelah, tentang lautan luas yang menjadi pelindung, dan tentang kami yang meski lambat, mulai belajar kembali menjadi penjaga bumi yang setia.